Akhir-akhir ini telah menjamur sebuah kegiatan yang sudah tak asing lagi di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan pelajar, yaitu Fotografi. Fotografi sudah menjadi trend saat ini, baik yang dilakukan oleh profesional untuk kepentingan yang lebih formal maupun yang dilakukan masyarakat kebanyakan yang melakukan fotografi untuk kebutuhan yang lebih umum, bukti dari menjamurnya fotografi di lingkungan Masyarakat khusunya remaja adalah banyaknya foto yang yang nangkring di akun-akun jejaring sosial seperti facebook maupun twitter yang dimiliki para remaja.
Berbicara tentang fotografi kita akan memfokuskan bahasan tentang bagaimana hukum mengambil gambar dengan kamera (memotret). Permasalahan memotret yang notabene adalah permasalahan kontemporer yang belum terjadi pada zaman Rosulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam ini terjadi Khilaf (perbedaan Pendapat) diantara segolongan Ulama’, ada yang membolehkan dan mengharamkannya.
Diantara beberapa dalil yang menjadi rujukan segolongan Ulama’ yang Mengharamkan adalah Hadits Qudsi dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘Anhu ia berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا حَبَّةً وَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً
Artinya: Saya mendengar Rosulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda “Siapakah yang lebih Zalim daripada orang yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku? Coba mereka menciptakan lalat atau semut kecil (Jika mereka memang mampu)!”.
(HR. Bukhori no. 5935 & Muslim no. 2111)
Secara jelas didalam Hadits Qudsi tersebut, Allah menganggap pencipta sesuatu yang menyerupai ciptaan-Nya adalah orang yang sangat Zalim, dan segolongan Ulama’ menyatakan jika memotret adalah dalam bagian mencipta yang dimaksud.
Pendapat diatas diperkuat dengan keputusan Muktamar NU ke 13 di Banten 12 Juli 1938 M no. 236 yang memutuskan “Menggambar Hewan (Hayawan) yang sempurna anggotanya dengan potret, begitu memindahkan gambar dari film ke kertas itu hukumnya HARAM dengan tidak adanya Khilaf yang terhitung”. Fatwa ini merujuk pada Keterangan dari majalah Nahdlatul Ishlahiyah halaman 264 yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Ketetapan yang menyeluruh adalah, bahwa pengambilan gambar dengan Kamera hukumnya sama persis seperti menggambar dengan tangan. Maka haram bagi setiap mukmin mempergunakan kamera untuk mengambil gambar dan haram pula menguasakannya kepada orang lain untuk mengambil gambar, karena dengan demikian berarti ia telah membantu atas pekerjaan yang diharamkan....”.
Berbicara tentang fotografi kita akan memfokuskan bahasan tentang bagaimana hukum mengambil gambar dengan kamera (memotret). Permasalahan memotret yang notabene adalah permasalahan kontemporer yang belum terjadi pada zaman Rosulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam ini terjadi Khilaf (perbedaan Pendapat) diantara segolongan Ulama’, ada yang membolehkan dan mengharamkannya.
Diantara beberapa dalil yang menjadi rujukan segolongan Ulama’ yang Mengharamkan adalah Hadits Qudsi dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘Anhu ia berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا حَبَّةً وَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً
Artinya: Saya mendengar Rosulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda “Siapakah yang lebih Zalim daripada orang yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku? Coba mereka menciptakan lalat atau semut kecil (Jika mereka memang mampu)!”.
(HR. Bukhori no. 5935 & Muslim no. 2111)
Secara jelas didalam Hadits Qudsi tersebut, Allah menganggap pencipta sesuatu yang menyerupai ciptaan-Nya adalah orang yang sangat Zalim, dan segolongan Ulama’ menyatakan jika memotret adalah dalam bagian mencipta yang dimaksud.
Pendapat diatas diperkuat dengan keputusan Muktamar NU ke 13 di Banten 12 Juli 1938 M no. 236 yang memutuskan “Menggambar Hewan (Hayawan) yang sempurna anggotanya dengan potret, begitu memindahkan gambar dari film ke kertas itu hukumnya HARAM dengan tidak adanya Khilaf yang terhitung”. Fatwa ini merujuk pada Keterangan dari majalah Nahdlatul Ishlahiyah halaman 264 yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Ketetapan yang menyeluruh adalah, bahwa pengambilan gambar dengan Kamera hukumnya sama persis seperti menggambar dengan tangan. Maka haram bagi setiap mukmin mempergunakan kamera untuk mengambil gambar dan haram pula menguasakannya kepada orang lain untuk mengambil gambar, karena dengan demikian berarti ia telah membantu atas pekerjaan yang diharamkan....”.
Dari sudut pandang Ulama’ yang memperbolehkan, diantaranya adalah DR. Yusuf Al-Qardhawi 1) dalam buku karangannya “Al Halal Wal Haram” memfatwakan masalah ini dengan mengikuti pendapat seorang mufti Mesir pada masa lalu yaitu Al ‘Allamah Syekh Muhammad Bakhit Al Muthi’i –Termasuk salah seorang pembesar ulama’ dan mufti pada zamannya- didalam risalahnya yang berjudul “Al Jawabul Kaafi fi Ibahaatit Tashwiril Futughrafi” berpendapat bahwa fotografi itu hukumnya mubah (boleh).
Beliau berpendapat bahwa pada hakikatnya fotografi tidak termasuk kedalam aktivitas mencipta sebagaimana tersebut dalam Hadits dengan kalimat “يَخْلُقُ كَخَلْقِي“ (Menciptakan seperti ciptaan-Ku), namun foto itu hanya menahan bayangan. Lebih tepatnya, fotografi ini diistilahkan dengan “pemantulan”, sebagaimana yang diistilahkan oleh putra-putra Teluk yang menamakan Fotografer dengan sebutan Al ‘Akkas (Tukang memantulkan), karena ia memantulkan bayangan seperti cermin. Aktifitas ini hanyalah menahan bayangan atau memantullkannya, tidak seperti yang dilakukan oleh pemahat patung atau pelukis. Karena itu, forografi ini tidak diharamkan dan dihukumi mubah.
Namun didalam hukum mubah ini mengandung sebuah syarat yang harus terpenuhi, Yaitu obyek foto adalah Halal. Tidak boleh memotret pemandangan yang dilarang oleh syara’. –Wallahu A’lam-
Catatan:
1) Lahir di Mesir 9 September 1926, Seorang Ulama’ Kontemporer yang sekarang terpilih sebagai ketua persatuan Ulama’ Dunia.
Beliau berpendapat bahwa pada hakikatnya fotografi tidak termasuk kedalam aktivitas mencipta sebagaimana tersebut dalam Hadits dengan kalimat “يَخْلُقُ كَخَلْقِي“ (Menciptakan seperti ciptaan-Ku), namun foto itu hanya menahan bayangan. Lebih tepatnya, fotografi ini diistilahkan dengan “pemantulan”, sebagaimana yang diistilahkan oleh putra-putra Teluk yang menamakan Fotografer dengan sebutan Al ‘Akkas (Tukang memantulkan), karena ia memantulkan bayangan seperti cermin. Aktifitas ini hanyalah menahan bayangan atau memantullkannya, tidak seperti yang dilakukan oleh pemahat patung atau pelukis. Karena itu, forografi ini tidak diharamkan dan dihukumi mubah.
Namun didalam hukum mubah ini mengandung sebuah syarat yang harus terpenuhi, Yaitu obyek foto adalah Halal. Tidak boleh memotret pemandangan yang dilarang oleh syara’. –Wallahu A’lam-
Catatan:
1) Lahir di Mesir 9 September 1926, Seorang Ulama’ Kontemporer yang sekarang terpilih sebagai ketua persatuan Ulama’ Dunia.
aq di ajarin fotografi dong... :D
BalasHapusoke , siap (o)
BalasHapus