0

Kala itu, usia saya masih belum genap 4 tahun ketika ibu saya memperkenalkan pensil dan kapur kepada saya dan diajarkan untuk menulis berbagai tulisan. Dan ketika usia saya mulai besar saya tahu kalau dulu saya mencoret-coret tembok dengan tulisan nama saya dan kakak saya. Meskipun belum mengetahui tulisan yang saya tuliskan itu apa, namun sejak sangat dini saya telah diajarkan menulis.

Ada beberapa penulis yang saya kagumi tulisannya. Beberapa di antaranya adalah Gus Mus, Mas Prie GS, dan Iqbal Adji Daryono. Salah satu faktor yang saya sukai karena tulisan-tulisan mereka unik, esai ringkas yang penuh makna, dan dari merekalah keinginan menulis saya terangsang. Bagi saya -terinspirasi dari mereka- menulis adalah satu hal simple untuk mengungkapkan gagasan dan curhatan kepada mereka yang membaca yang tidak kita tahu identitasnya (mubham, anonim). 

Satu tulisan ringkas dan mudah dicerna, dalam banyak hal malah bisa dinikmati oleh khalayak umum dan bisa menjadi titik perubahan yang akan dikenang seperti jargon Ayo Bung Rebut Kembali, Merdeka atau Mati, Hubbul Wathon Minal Iman. Ketika jargon (tulisan) tersebut kita baca di waktu sekarang, secara nadhori (tanpa berpikir panjang) otak kita akan traveling pada era awal kemerdekaan. Hal-hal kecil yang bisa mengubah peradaban dan dunia, itulah hebatnya tulisan.

Ketika masih duduk di bangku sekolah, saya memiliki beberapa teman yang ketika mereka berbicara, maka teman-teman dan guru seolah-olah selalu terpesona dan secara tidak sadar mengiyakan saja apa gagasan yang mereka sampaikan. Dalam kasus ini saya juga punya sosok yang menginspirasi, yakni sosok KH. Bahauddin Nur Salim dan Abdul Moqsith Ghozali. Keduanya dapat membawakan satu pembahasan dengan jelas dan mengandung makna yang luas. Satu anugerah besar dari Allah.

Melanjutkan cerita teman-teman saya tadi, mereka adalah seorang orator, keilmuannya luas, dan hafalannya juga kuat. Namun ketika mereka diminta untuk menuliskan ilmu atau gagasannya dalam bentuk tulisan, mereka menyerah. Serasa ilmu yang ada pada mereka terhalangi tembok besar ketika akan memulai menulis. Dan mungkin, memang, kecerdasan akademik itu tidak selalu selaras dengan keahlian menulis.

Dalam hal lain, ketika saya berselancar di media sosial Twitter, ada satu akun penulis terkenal yang selalu menghindari kegiatan seminar, bedah buku, atau lainnya. Dalam cuitannya, ia mengatakan jika "saya ini penulis, bukan pembicara". Dan dari pernyataan tersebut lengkap sudah tipe-tipe orang yang cerdas pada satu hal, dan masih ada kekurangan pada satu hal lainnya.

Dari berbagai hal yang saya amati tersebut, saya menyesali keadaan saya yang masih kurang, berbicara di depan umum juga masih ndredeg, menulis satu lembar tidak rampung-rampung. Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri "Ini satu kekurangan yang Allah berikan kepada saya atau memang kemalasan saya dalam berlatih dan belajar?".

Dan setelah semua itu, saya mengambil kesimpulan, jika hari ini saya masih belum bisa menjadi pembicara dan penulis, maka saya akan terus berusaha menjadi pendengar dan pembaca yang baik. Jika saya tidak bisa mencapai harapan itu sekarang, semoga anak-anak saya kelak bisa khatam keilmuannya dari mendengar dan membaca, lalu mengamalkan ilmunya dengan menjadi pembicara dan penulis. Amin.

Muhammad Ainun Na'im, 
Kelas J2, 23 Jumadal Ula 1443 H. 

Posting Komentar Blogger

 
Top