0
    


    Satu hal yang pasti berjalan maju adalah waktu. Karena kita adalah makhluk yang masih terjebak oleh dimensi ketiga dan masih akan terus sami'na wa atho'na pada lintasan waktu yang berjalan maju. Kita akan selalu menandai momen-momen tertentu, karena otak kita tidak diberi kemampuan untuk mengingat segala hal yang terjadi setiap harinya, setiap waktunya. Maka dikenallah istilah pekan, bulan, tahun, windu, dasawarsa, abad, dll. Itulah hal-hal yang mempermudah kita mengingat garis sejarah waktu.

    Tahun sendiri memiliki rumahnya masing, tahun hijriyah, gregorian, saka, aboge, asapon, dll. Semakin jelas jika waktu adalah satu hal kreasi manusia yang ketika kita belajar dinamakan budaya; suatu yang dihasilkan dan disepakatai bersama oleh banyak orang.

    Di akhir tahun akan banyak kita jumpai konten-konten -terutama anak milenial- yang menyajikan rewind, recap, dan istilah lainnya yang mengumpulkan segala kenangan akan kejadian yang berlangsung selama satu tahun. Isinya tentang banyak hal; bahagia, sedih, marah, bahagia, dll. Di masjid-masjid pun akan ada khatib-khatib yang mengajak para jama'ah sholat Jumat yang dirahmati Allah untuk mengevaluasi (muhasabah) akan satu tahun yang kita lakukan kemarin. Lalu yang tak kalah ramai juga -menjadi momen tahunan- para "qodhi" sosial media yang kembali menyampaikan hal-hal tentang haramnya meniup terompet, membunyikan petasan, dll.

    Ya, seperti itulah serba-serbi yang selalu kita jalani setiap penghujung tahun. Beraneka persepektif bagaimana orang-orang mengucapkan salam perpisahan untuk tahun sekarang dan selamat datang untuk tahun yang baru.

    Ada dua hal yang saya dapatkan dari seseorang tentang bagaimana menyikapi tahun baru, yakni dengan melihat dua 'wa ma' di dalam al-Qur'an; wa ma hadzihil hayatud dun-ya illa lahwun wa la'ibun (QS. 29:64) dan wa ma kholaqtul jinna wal insa illa li ya'budun (QS:51:56). Keduanya memiliki kesamaan yaitu diawali dengan ma nafiy (Ma yang bermakna menolak; tidak) dan disusul dengan lafadz illa sebagai adatu hashri (alat untuk mengkhususkan satu hal).

    Keduanya dapat dimaknai jika kehidupan di dunia sejatinya hanyalah senda gurau dan permainan. Anak-anak kecil hingga orang dewasa suka permainan, tentu dengan pemaknaan permainan yang berbeda. Ketika mereka bisa 'bermain' dengan 'mainannya' maka mereka akan merasa senang. Seperti itulah dunia, semakin kita mendapatkannya, maka kita akan merasa mendapatkan satu pencapaian yang menyenangkan. Namun konsekuensi dari permainan adalah, dia tidak nyata, dia hanya sebagai hiburan, dan yang pasti, dia akan selesai, dan kita tinggalkan.

    Lalu kita akan kembali pulang, layaknya ketika dulu kita dipanggil ibu untuk pulang ketika sudah sore dan meninggalkan permainan kita. Kita akan pulang ke siapa? kepada Dia yang dulu kita telah berjanji bersama-sama; balaa syahidnaa, Dia yang tidak menciptakan kita kecuali untuk mengakui eksistensi Kebesaran-Nya, sebagai penguasa segala dimensi (tidak hanya pada kehidupan tiga dimensi kita). Lalu dengan bekal apa kita mampu menjadi yang Dia inginkan? tentu dengan satu jalan; menjadi Abdullah, Israil, Abdurrahman, Abdurrahim, ....... dst. Menjadi abdi yang taat, yang meramaikan dunia-Nya yang penuh permainan dengan peran sebagai kholifatullah lalu tunduk akan Kemahabesaran-Nya dengan menjadi Abdullah. 

Selamat merayakan awal tahun 2022

Muhammad Ainun Na'im

Posting Komentar Blogger

 
Top